Selasa, 02 Februari 2016

INI YANG LAMA DINANTI; KMGP FILM KELUARGA YANG RENYAH DAN BERMUTU

Setelah membaca kisah Ketika Mas Gagah Pergi sekitar 20 tahun lalu, saya memang menunggu film yang diangkat dari karya Helvy Tiana Rosa ini. Bukan saja karena kisah ini telah berhasil mengubah pandangan dan sikap saya terhadap Islam, atau karena proses produksinya unik yang melibatkan kegiatan"patungan bikin film" dari para pembacanya, namun saya juga ingin sekali menemukan visualisasi atas sosok Mas Gagah, Gita, pun Yudi dalam film ini.

KMGP berkisah tentang pemuda dari keluarga kelas menengah muslim yang sangat sayang pada ibu dan adiknya yang manja dan tomboy (Gita). Gita bangga pada Gagah karena abangnya tersebut tampan, cerdas, mandiri dan sangat modern. Suatu ketika Gagah pergi ke Ternate untuk penelitian skripsinya. Alangkah terkejut Gita karena sepulang dari Ternate, Gagah berubah drastis. Gagah mendalami Islam dengan serius, namun dalam interaksinya kemudian hal itu memuculkan banyak friksi dengan Gita, juga Mama. Muncul pula tokoh Yudi ‘Fisabilillah’ yang sering dijumpai Gita di bus dan di jalan raya. Sosok ini tanpa beban, tanpa harapkan imbalan, setia melakukan dakwah on the street, namun bagi Gita ia adalah ‘musuh’ sebagaimana Mas Gagah. Lalu ada tiga sekawan ‘Preman Insyaf’ yang kocak (Urip, Asep dan Maxi) yang bersama Gagah membangun ‘Rumah Cinta’ untuk anak-anak dhuafa dan memberdayakan masyarakat di sana.

Sekitar 95 menit saya terperangah menonton film ini. Ada banyak kelebihan film KMGP dibandingkan film-film umum atau bahkan film-film bernuansa Islam lainnya. Kelebihan pertama adalah soal alur. Alur film KMGP tidak linear melainkan disusun dengan cerdas. Sebagai penonton kita harus berpikir, cermat mengikutinya. Kisah dimulai dengan sosok Mas Gagah di Ternate. Saat ia memotret di atas batu karang di daerah Batu Angus, ia terpeleset dan jatuh tenggelam. Ini mengingatkan saya pada opening film Gladiator-nya Russel Crowe, dimana cerita kemudian ditarik flash back. Mulai dari masa kecil Gagah dan Gita, hingga kedekatan mereka di masa remaja. Pengaluran yang dinamis dan segar. Alur peristiwa dari satu scene ke scene yang lain terasa unpredictable meski saya sebagai pembaca setia novelletnya hapal dengan semua alur kisahnya. Disinilah kepiawaian Fredy Aryanto sebagai penulis skenario layak diacungkan jempol. Ia membuat skenario yang setia dengan nyawa novellet namun memberi kesegaran baru juga kekinian.
Kelebihan berikutnya terletak pada sinematografi. Gambar-gambar cantik dengan eksplorasi estetik yang mampu mendeskripsikan gejolak perasaan para tokoh adalah salah satu ciri Nur hidayat (Monod). Di tangan Monod yang menjadi ‘cantik’ bukan hanya Ternate atau Jakarta, tetapi juga kekumuhan Muara Angke, lokasi “Rumah Cinta’ (rumah singgah anak-anak dhuafa yang dikelola 3 preman insyaf). Monod memotret Muara Angke dari berbagai sisi, juga udara, membandingkan lokasi pemukiman padat tersebut dengan gedung-gedung pencakar langit di seberangnya. Kontras yang menggigit.

Akting para pemeran juga patut diacungkan jempol. Aquino Umar, misalnya, memainkan sosok Gita (adik Mas Gagah) seakan-akan tidak sedang akting. Sangat natural# Saya sudah membayangkan bila KMGP ini jadi film 10 tahun lalu, maka Nirina Zubir adalah sosok yang sangat cocok untuk peran ini, namun kehadiran dan kecemerlangan Aquino bisa membuat saya ‘melupakan’ Nirina. Aquino akan menjadi the rising star dalam industri film Indonesia masa depan! Hamas Syahid memerankan sosok Mas Gagah dengan sangat baik. Mungkin karena Hamas juga ditempa dalam karantina selama 3 bulan yang menghadirkan tokoh teater/film Otig Pakis sebagai pelatih akting.

Meski tampil di adegan awal dengan agak canggung, Masaji yang berperan sebagai Yudi sangat mencuri perhatian, terutama karena ketampanan dan gesturnya. Yudi adalah pemuda misterius yang sering dijumpai Gita di jalanan, terutama di angkutan umum dan melakukan ‘dakwah on the street’ tanpa beban. Setelah 2 scenes pembukaan kehadirannya yang agak ‘berat’, pada adegan-adegan selanjutnya Masaji memerankan tokoh unik ini dengan cukup baik.

Untuk akting pemain pendukung lain tak perlu diragukan. Wulan Guritno sebagai Ibu Mas Gagah dan Mathias Muchus sebagai Ayah Yudi, tampil cemerlang. Trio “preman insyaf” Bang Urip (Epy Kusnandar), Maxi (Abdur Arsyad) dan Kang Asep Codet (Muhammad Bagya) menambah kesegaran film ini. Tokoh Tika (Meta Rizki Nurmala) sahabat 'nongki-nongki chanci' nya Gita yang sangat gaul juga mencuri perhatian penonton. Di luar itu ada 30 bintang terkenal yang turut meramaikan film ini antara lain: Ali Syakieb, Mentari De Marelle, Joshua Suherman, Virzha Idol, Miller Khan, Arbani Yasiz, Elovii, Rendy Martin, Nungki Kusumastuti, dan masih banyak lagi.

Kelebihan lain dari film ini juga terletak pada musik yang digarap Dwiki Dharmawan. Orkestrasi yang konon dikerjakan di Praha ini benar-benar mampu membawa penonton larut dalam tiap adegan. Theme song film ini: “Rabbana” dibawakan dengan sangat indah oleh Indah Nevertari.
Setelah melihat nama-nama pendukung film KMGP, tak heran bila film ini secara keseluruhan sangat apik. Ya, meski film ini merupakan debut sutradara Firman Syah, namun didukung kru yang hampir semuanya pernah memenangkan piala citra. Sebut saja Monod, Rizal Basri, Adi Molana, Khikmawan, dll.

Biasanya film yang diangkat dari karya sastra, banyak yang mengecewakan saat difilmkan, namun KMGP menjadi pengecualian. Meski ada beberapa adegan yang tidak sama dengan di buku, namun ‘ruh’ bukunya sungguh terasa.

Beberapa perbedaan itu antara lain: setting Madura di buku diubah menjadi Ternate. Lalu tokoh Yudi dan Gagah yang tidak bertemu dalam satu masa di buku, dalam film berada di satu masa. Bila di buku Gita berjumpa Yudi saat ia sudah mengenakan jilbab, maka di film masa itu ditarik mundur saat Gita sedang menghadapi konflik berkepanjangan dengan Gagah. Dalam buku tidak dijelaskan asal usul Yudi secara detil, namun di film dijelaskan orangtua dan latar belakang Yudi. Menariknya, pengenalan Gita terhadap Yudi sebagai “Abdullah” versi buku, di versi film menjadi “Fisabilillah.” Kita tertawa saat Gita menyebut Yudi dengan “Mas Fisabilillah”.

Saya kira keberadaan Helvy Tiana Rosa sang penulis buku KMGP yang terjun langsung menjadi produser film KMGP turut menentukan perubahan-perubahan ini pula, terutama dalam menyampaikan misi bahwa “Islam itu indah, Islam itu cinta, Islam itu gagah.”

Secara keseluruhan film ini cocok untuk semua umur, terutama bagi para remaja. KMGP menarik, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kekeluargaan dengan ‘renyah’ sambil kita tertawa-tawa dan terharu, sesuatu yang jarang diangkat dalam film-film kita.

Ia juga menjadi sangat kontekstual di tengah kecurigaan atau sikap islamophobia dunia terhadap keberadaan para aktivis ge
rakan Islam, sebagaimana Gita yang sempat mengira abang yang ia sayangi itu berubah mungkin karena mengikuti aliran sesat atau menjadi korban radikalisme. Ya pada akhirnya, KMGP merupakan film yang menggugah kesadaran kita tentang arti sebuah perubahan, sebuah revolusi mental, dan bagaimana kita harus saling menghargai perbedaan. Seperti kata Tika: “Berbeda itu kece.” Atau seperti yang disampaikan Gagah: “Jika kita tidak menyetujui suatu kebaikan yang mungkin belum bisa kita pahami, kita bisa coba untuk menghargainya.”

Film produksi IndoBroadcast bekerjasama dengan Aksi Cepat Tanggap ini telah ditunggu selama lebih dari 20 tahun oleh para pembacanya yang turut “patungan” untuk kehadiran film ini. Helvy berkomitmen menyumbangkan 50% keuntungan film untuk dana kemanusiaan. Di luar itu bila tercapai 1 juta penonton, akan ditambah lagi 1 Milyar untuk pendidikan anak-anak di Indonesia Timur dan 1 Milyar lagi untuk pendidikan anak-anak Palestina.

Mari kita dukung film bermutu ini dengan menyaksikannya segera di bioskop. Saya dengar kabar KMGP 2 akan segera tayang juga, jadi jangan sampai terlewat. Dari rentang skor 1 sampai 10, saya beri 9 untuk film ini.

Edi Sutarto 
Penulis dan Direktur Sekolah Islam Athirah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar